watch sexy videos at nza-vids!
HomeTante Bugil

 

Tags: mesum cerita

Cerita Sex Esther Karyawanku 01

Cerita Sex Esther Karyawanku 01
Esther Karyawanku 01 Anda masih ingat cerita saya dalam judul “Gairah karyawanku” beberapa waktu lalu? Ada kisah yang masih seputar karyawan saya yang bernama Esther itu, namun ini bukan terjadi di kantor seperti yang saya ceritakan dahulu, walaupun kisah ini masih benar?benar terjadi seperti yang saya alami. Memang seperti yang dibayangkan anda semua, setelah kejadian itu, kamisering melakukan dimana ada kesempatan, pasti tidak kami lewatkan begitu saja, seperti di puncak ataupun di hotel?hotel yang ada di sekitar Jakarta. Kisah yang akan aku ceritakan ini, terjadi justru di rumahnya kurang lebih 2 bulan setelah kejadian di kantor tersebut, yang mana kejadiannya di saat kami pulang kantor. Seperti biasanya, saya dan Esther serta karyawan lain pulang pada pukul 4:30 sore, namun kami tidak langsung pulang. Kami habiskan sisa malam itu (kalau tidak salah malam Sabtu) untuk nonton film di bioskop. Sepulangnya menonton film **** (edited) pukul 9:30 malam, saya mengantar Esther ke rumahnya. Oh iya, aku lupa menceritakan bahwa Esther masih tinggal bersama orang tua dan saudaranya yang lain. Sebenarnya aku sudah akan pamit pulang karena lelah bekerja seharian di kantor, tapi dengan manja Esther mencegahku pulang, “Kenapa sih..? Sebentaar.. aja, aku bikinin kopi ya..?Pleasee..!” Aku jadi tidak tega melihatnya, apalagi mendapat tawaran kopi yang menjadi kegemaranku itu. “Iya deh, siapa takut?” ujarku setengah bercanda. Begitu Esther membuka pintu ruang tamunya, kami disambut oleh Rian, anaknya yang semata wayang itu. “Bundaa pulang.., ‘kantol’-nya kok malem amat..?” mulut mungil anak berusia 3 tahun itu terlihat menggemaskan menanyakan ibunya. “Iya sayang, Bunda kan harus kerja dulu, oh iya salim donk sama Oom Pam.” kata Esther sambil melirik ke arahku. “Mas, mandi dulu ya, aku bikinin kopi buat Mas..” Aku hanya mengangguk kecil, kemudian kuterima handuk dari Esther dan langsung masuk ke kamar mandi. Setelah mandi, kulihat ayahnya sedang membaca koran di ruang keluarga, kemudian kusapa, “Malam Pak, maaf, Saya numpang mandi.” Ayahnya terlihat kaget, “Oh Nak Pram..? Saya kira siapa, mari silakan duduk.” Kami pun terlibat obrolan ringan sampai akhirnya muncul Esther keluar dari kamarnya, “Maaf Mas, Aku nidurin Rian dulu, nih Mas kopinya, Aku mau mandi dulu ya..?” Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10:45 malam, lalu aku tanya ke Esther, “Udah malem gini mau mandi..?” “Kenapa emang..? Abis badanku bau sih..” jawabnya sambil meraih handuk yang bekas kupakai mandi tadi, terus ngeloyor masuk ke kamar mandi. Tidak lama kemudian, ayahnya menyahut, “Mas Pram, Ayah tinggal tidur dulu ya..?” Sambil mengangguk, kujawab, “Mari Pak.., silakan..!” 10 menit kemudian, terlihat Esther keluar dari kamar mandi dan kelihatan segar dengan kaos kutang kuningnya dipadu dengan celana pendek motif bunga yang bagian pahanya terlihat longgar. Aku yang dari tadi duduk di sofa di ruang tamunya, pindah selonjoran di lantai yang dilapisi karpet berwarna coklat tua. Esther pun duduk di sebelahku ikut selonjoran. “Enak nggak Mas kopinya..?” Esther membuka percakapan. Aku pun menyahut, “Yahh.. lumayan, kemanisan dikit.” sambil kuraih cangkir kopi di depanku dan tanpa sengaja siku lenganku menyenggol daging kenyal di dadanya. “Iihh.., nakal ahh..!” katanya diiringi tatapan matanya yang indah itu. “Ehh.. Kamu.., nggak pake ya..?” aku setengah kaget begitu mengetahui Esther tidak pakai BH. Esther hanya tersenyum penuh arti. “Nggak suka ya, hhmm..?” kata-katanya begitu menantang gairah kelakianku. Sebagai jawabannya, aku meraih kepalanya kemudian kudaratkan kecupan lembut di bibirnya. Dia pun membalasnya dengan penuh gairah dan tanpa dikomando, tanganku mulai menjalar ke arah dadanya. “Mas.. hmm jangan Mas, nanti ketauan Ayah.. eehh.. Ayah kan belum lama masuk kamar..?” kata Esther pelan, takut ketahuan seisi rumah. Aku pikir sebenarnya dia sudah dirasuki nafsu birahi. Aku pun menjawabnya dengan setengah berbisik, “Lho, lagian ngapain Kamu nggak pake BH, hayo..?” Esther hanya membalas dengan mencubit perutku. “Nakal..!” katanya manja tapi tidak berusaha menepis tanganku atau bagaimana. Sebenarnya, situasi di rumahnya tidak memungkinkan untuk kami bercumbu. Tapi nafsu setan yang menguasai kami berdua sudah tidak bisa dikalahkan. Kemudian sambil mengobrol, kulanjutkan lagi jelajahan tanganku menelusup ke balik kaos buntungnya itu. Karena di balik kaos itu, Esther sudah tidak pakai apa-apa lagi, maka tanpa kesulitan tanganku bisa meraih bola dagingkembar di dadanya. Buah dada Esther walau sudah punya anak satu, bagiku masih terasa kencang dan kenyal, apalagi puting di puncak bukit kembarnya masih terasa kecil di jepitan jari-jariku, layaknya masih gadis saja. Karena tidak sabar, kutarik kaos kutang itu ke atas dan terpampanglah tonjolan buah dadanya, lalu aku mulai mengarahkan kepalaku untuk mengecup payudaranya. Tapi ternyata kedua tangan Esther menahan kepalaku, “Jangan Mas.., nanti ketahuan..” Esther berbisik pelan. “Iya.., ya makanya begini aja, Kamu pura-pura ngobrol apa kek, biar nggak ketahuan..” aku menyahut sambil memberi saran. Begitulah selanjutnya, Esther pura-pura ngobrol atau menyanyi kecil untuk mengkamuflase tindakan kami agar tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Sementara jemari di tangan kiriku terus memilin puting payudara Esther sebelah kiri yang sudah mencuat kemerahan, sedang mulutku mulai mengecup puting yang satunya. Diperlakukan seperti itu, walau masih menyanyi-nyanyi kecil, tak urung desahan nikmat juga terdengar pelan dari mulut Esther. Aku menjadi geli sendiri dengan kelakuan Esther itu. Bagaimana tidak..? Esther menyanyi tapi diselingi rintihan dan desahnan nikmat, lagu yang dinyanyikannya jadi tidak karuan. Begitu Esther tahu aku tersenyum geli, dia menegurku, “Kenapa sih..?” Aku menjawab sambil mulutku tetap menghisap putingnya, “He.. he.. nggak apa-apa, lagu Kamu fals..” “Uu-uhh jahat..! Habis gimana dong..?” ucapnya pelan. “Ya udah.., terusin aja, nggak apa-apa..” jawabku sekenanya. Kembali mulutku mengulum puting Esther yang semakin keras, terasa di jepitan bibirku. Perlahan namun pasti, tanganku mulai turun ke arah perutnya dan terus ke arah pangkal pahanya. Begitu tahu apa yang akan aku lakukan, Esther kembali melarangku, “Mas.., jangan Mas.., udah nggak usah ke bawah-bawah segala, pleasee..!” sambil tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kananku. Tapi apalah artinya tangan sekecil itu melawan tanganku yang kekar. Nyatanya, yang kurasakan tangan itu bukannya melakukan perlawanan, namun malah seperti mengarahkan jari-jari di tanganku ke arah pahanya terus menerobos masuk ke selangkangannya melalui bagian celana pendeknya yang longgar itu. Sekarang mulutku pindah ke arah lehernya sambil kubisikkan pelan, “Kamu bilang jangan, tapi kok diam aja..?” Esther hanya mendesah ketika jemariku mulai menyentuh secarik kain yang sudah basah dan masih menutupi bagian terlarang selangkangannya, “Makanya.., ouuhh.., jangan dong Mas.., shh.. Aku takut nggak bisa nolak..!” Mendengar kata-kata itu, aku justru semakin berani menyusupkan jari-jariku melewati jepitan celana dalam Esther. Dan sedetik kemudian, kurasakan kebasahan yang tersentuh jariku pada bibir kemaluannya. Kutatap matanya yang sekarang setengah tertutup sayu sambil mulut seksinya setengah terbuka, mengeluarkan desahan pelan, “Ouuhh Mass.., what should I do..?” Akhirnya dia menyerah atau memang sebenarnya sudah sangat bernafsu, mengharapkan tanganku beraksi lebih jauh lagi. Tidak kubiarkan kesempatan itu, walau di dalam hatiku sendiri masih diliputi perasaan deg-degan, takut seisi rumahnya terbangun. Perlahan jari tengahku menyusup masuk ke lorong kemaluan Esther yang sudah terasa licin sambil ibu jariku memainkan bagian ujung atas pada vaginanya. Esther hanya bisa merintih keenakkan begitu jariku semakin masuk, menerobos lubang kemaluannya. Sementara tangan Esther kemudian seperti refleks, meremas batang kemaluanku yang masih tersimpan rapih di balik celana jeansku. “Mass.., aduhh Mas..! Uuhh.., God..! Sshhtt.. uuff..” sepertinya rintihan Estherterdengar lebih keras, cepat-cepat kubungkam dengan melumat bibirnya yang memang terlihat sudah siap itu. Dengan begitu suara rintihannya hanya terdengar di dalam mulutku. Tetapi tiba-tiba dia melepaskan ciumanku, lalu Esther berkata pelan, “Mass.. celanaku basah nih, dibuka aja kali ya..?” Aku pun menjawab tidak kalah pelannya, “Cepet amat sih..? Belum-belum udah banjir..!” Esther hanya bisa menyungut, “Salah Mas juga lagi..! Kenapa udah 2 minggu Mas nggak ngasih jatah ke Aku, perasaan 2 hari yang lalu Aku udah minta, tapi Mas Pram aja yang nggak tahu..!” Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Lalu aku berusaha melepas celana pendeknya sambil dibantu oleh Esther. Sementara itu, kami berdua kompak melirik ke arah ruangan dalam, siapa tahu ada yang bangun. Aman..! Wah kalau sampai ada yang bangun, bisa berabe nih urusannya. Begitu celana pendek itu terlepas, Esther menatapku sayu, “Udah..? Yang ini aja..? Yang satunya dibiarin aja, apa gimana..?” Aku pura-pura bego, “Dibuka juga..?” Kembali Esther menyahut, “Iihh.., norak..! Udah tanggung lagi..! Ayo.., dibuka juga..!” Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku menuruti kemauannya. Dengan terampilnya kupelorotkan celana dalam itu, sementara Esther mengangkat pinggulnya untuk membantu kemudahan tanganku melepas celana dalamnnya yang berwarna merah. Celana dalam yang sudah terlepas itu aku ciumi dengan hidungku sambil kujilati kebasahan yang lengket disitu. Melihat ulahku, kontan Esther protes, “Apa-apaan sih Mas..? Jorok deh ihh..! Ketimbang nyiumin yang itu, kenapa nggak yang aslinya aja dicicipin..?” sambil tangannya merebut celana dalam miliknya yang sudah basah dan ternoda itu dari genggaman tanganku. Sambil tersenyum penuh arti, aku menyahutnya, “Boleh..! Siapa takut..? Udah lama kayaknya nggak ngerasain.., hmm.. lendir Kamu..” Esther menanggapinya dengan tersenyum nakal, “Iya nih..! Udah lama kan lidah dan mulut Mas Pram nggak menengok punyaku..? Tuh.., liat tuh..! Dia kan juga kangen sama mulut Mas Pram, dijilat, dicium, diemut, pokoknya dia ketagihan lho sama mulut Mas.., apa Mas Pram nggak kasihan sih..?” Mendengar kata-kata erotisnya, birahiku semakin terbakar, “Iya sayang.., mulutku juga haus nih pingin ngerasain lagi lendir Kamu itu.” Esther sekarang mulai merebahkan tubuhnya di karpet sambil bertumpu pada kedua siku tangannya, kedua kakinya ditekuk ke atas, terlihat di selangkangannya mengintip bulu?bulu halus yang masih menutupi lubang kemaluannya yang harus kuakui benar-benar membuatku mabuk kepayang. Seperti hendak memancing gairah kelakianku, Esther memainkan pahanya dengan membuka dan menutup pahanya. Aku menjadi gemas karenanya. Tanpa perlawanan berarti dari Esther, aku menyibakkan lutut di kakinya dan langsung mengarahkan kepalaku ke daerah selangkangannya. Tanpa basa-basi lagi, aku mulai menciumi rambut halus yang tumbuh di daerah pubisnya. Lidahku menjalar ke bawah, mengikuti garis lipatan pangkal pahanya. Dan aroma kemaluan Esther pun sontak merebak tertangkap oleh indra penciumanku. Sejujurnya harus kuakui juga aroma dan bau khas lubang vagina Esther benar-benar membuatku sering tidak bisa tidur. Untuk memudahkan aksiku, aku memposisikan tubuhku dengan tengkurap, sementara kedua tanganku menyusup di bongkahan pinggul Esther, lalu pinggul itu aku angkat hingga lubang kemaluan Esther sejajar tepat di depan wajahku. Pinggul Esther yang sudah terangkat itu, kusangga oleh kedua siku tanganku yang menempel di lantai. Sementara kaki kiri milik Esther menjuntai di punggungku dan yang kanan disandarkan di atas meja, di dekat situ. Dengan posisi seperti itu, sekarang aku jauh lebih leluasa menggarap semua bagian selangkangan Esther yang tepat di depan wajahku itu. Tidak lupa aku dan Esther tetap bergantian memantau ke arah ruang tengah untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Bisa kacau kalau ketahuan sama keluarganya. Lidahku sekarang mulai menyapu bagian bibir luar kemaluannya diiringi erangan nikmat dari mulut Esther. Sambil tetap tanganku menyangga pinggulnya, ibu jari di kedua tanganku mencoba membuka lebih lebar liang kemaluan Esther yang sudah merah itu. Kemudian aku mulai menjulurkan lidahku menelusup masuk ke dalamnya. Perlahan kujelajahi bagian demi bagian pada lubang kemaluan Esther. Dari mulai lubang pantatnya, kemudian naik terus melalui lorong surga milik kekasihku ini. Terdengar rintihan lirih dari mulut Esther, “Ouuff.., sshh.., Goodd..! Yahh.. terus Mass.. yaahh.. begitu.. Itil-ku dong Sayang..! Yaahh.. oouwww.. ffsstt..” Memang saat Esther merintih itu, aku sedang memainkan klitorisnya yang mencuat seolah mengharap kepada mulutku untuk berbuat lebih liar lagi. Dari hanya menjilat dan menyentil, mulutku mulai menghisap klitoris yang bertengger di pucuk atas kemaluan Esther. Kuhisap perlahan daging sebesar kacang itu dengan menggunakan lidah dan bibirku. Sementara rintihannya berubah menjadi jeritan kecil yang membuatku sedikit cemas membayangkan seandainya seisi rumah itu terbangun. Kuhentikan aksiku untuk memperingatkan Esther, “Heh.., sstt..! Jangan keras-keras.. ngaco deh Kamu..!” Sambil terus mendesah, Esther hanya bergumam, “Iya.., aduuhh.. ouhh.. abis Kamu pinter.., enakkhh banget, tahu nggak sih..? Terusin dong Sayang.. jangan berhenti.. terus emut itil-ku yang keras..!” Kembali aku menjilati belahan lubang kemaluan Esther yang sedikit terkuak itu dengan irama yang teratur, menelusuri lembah dan celah-celah di seantero lubang kemaluannya, dan aroma harum vagina Esther yang khas semakin tajam menusuk hidungku. Terlihat dinding luar kemaluannya yang semakin basah dan lengket terasa gurih di lidahku. Sedang klitorisnya terlihat semakin membesar dan tambah memerah, seolah mau meledak menahan gejolak nafsu birahi si empunya. Lalu aku kembali menuruti kehendak Esther untuk mengemut bibir atas kemaluannya, termasuk klitorisnya dengan irama yang lebih cepat dan ganas. 10 menit sudah berlalu dan tanganku sudah terasa pegal menyangga bobot tubuh bagian bawah Esther. Mungkin karena nikmat yang dirasakannya semakin tinggi, dia lupa untuk tidak membuat suara gaduh, aku sendiri pun jadi tidak peduli, dengan semangat kupercepat irama hisapanku pada bagian klitorisnya. Erangan dan rintihan Esther semakin terdengar panjang, nafasnya memburu kencang, tubuhnya kelojotan, gerakan pinggulnya semakin liar, seolah semakin mengejar gerakan lidah dan mulutku. “Ouuwww.. nikmatnya.. terus Sayang..! Yahh.. oohh Goodd..! Yaahh.., yahh.. sedikit lagi Sayang.. sshh sstt, ouhh uff.. aduhh.., enak banget sih..! Sshh.. yahh..” desahnya yang mulai terdengar lebih keras. Aku sendiri berharap phenomena. Dimana dari lubang kemaluan Esther akan menyembur lendir bening. Tubuh Esther meregang hebat, pinggulnya semakin bergerak tidak karuan dan kedua kakinya kejat-kejat, sementara kepalanya mendongak ke atas, menandakan nikmat yang dirasakan Esther semakin meninggi. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, “Sruutt.. sreett.. crrutt..” menyembur cairan yang kutunggu-tunggu itu menyerbu masuk ke dalam mulutku. Dengan penuh nafsu, kuhisap dan kuhirup dalam-dalam cairan hangat dan gurih yang mengalir memenuhi seantero mulutku dan tidak kubiarkan setetes pun luput dari hisapanku. “God..! Aawww.. yaa teruss.. teruss emut.. ouuwww.. aduh nikmatnya..! Jangan berhenti Sayang..! Hisap lebih keras..! Aahh.. sshhtt.., emut terus, emut lebih kuat Sayangg..! Ouww sshhtt.. gila enak banget..! Ya Tuhan.. owwhh.. yaahh.. yaahh..” jeritan kecil Esther terdengar panjang mengiringi puncak orgasme yang dialaminya, setelah sekian lama tidak mendapatkannya dariku. Terlihat bibir kemaluan dan klitorisnya tambah merah dan sepertinya berdenyut-denyut, menandakan detik-detik dimana Esther sedang mengalami perasaan yang melayang tinggi dihempas badai kenikmatan duniawi lewat sentuhan lidah dan bibirku. 1 menit pun berlalu setelah Esther mengalami puncak kenikmatan yang baru saja dialaminya. Aku sendiri masih giat menjilati sisa?sisa cairan yang menetes mengalir keluar menyusuri belahan liang vagina milik Esther itu. “Ouhh.. Mas.. aduhh.., bener-bener deh aku.. aku puas banget..! Ouh.., sshh.. Kamu memang luar biasa Mass..!” pujinya di tengah-tengah puncak kenikmatannya. Kemudian kulepaskan bibir dan lidahku pada kemaluannya, dan kurebahkan pinggulnya di lantai. Lalu dari mulutku kukeluarkan cairan yang tadi memenuhi mulutku, kutampung dengan telapak tanganku. Kuperlihatkan kepada Esther cairan berupa lendir bening agak kental di depan wajahnya. Sontak dia kaget, “Apa-apaan sih Mas..? Itu cairanku..? Iihh.., jorok ahh..! Sini Aku bersihkan..!” Aku menghindar, “Jangan Sayang, aku cuma mau kasih tahu aja ke Kamu.., ini lho lendir Kamu, enak aja dibuang.” Lalu kuseruput cairan itu dari telapak tanganku sampai habis, kujilati bekas-bekas lendir yang masih menempel pada jari dan telapak tanganku. Kukecap-kecap dengan penuh perasaan, seolah aku baru meresapi sesuatu yang terlezat dan tergurih yang pernah aku rasakan. Esther hanya bengong dan meringis menatap ulahku barusan. Sambil merapihkan pakaiannya yang sudah acak-acakkan, dia bertanya, “Mas, apa Kamu nggak jijik sih..? Apaan sih rasanya..? Enak, apa..? Kok kayaknya sampai begitu amat..? Tapi.. Aku jadi nafsu lagi lihat Kamu kayak gitu.” Esther melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kujawab, tapi aku coba menanggapinya, “Kan Aku pernah bilang ke Kamu, belum pernah Aku rasakan cairan wanita sesegar dan seenak yang Kamu punya..” Kemudian Esther menyambung, “Tapi mas, eeng.., Mas Pam kan belum keluar, Aku keluarin sekarang ya..?” Aku tidak langsung menjawab, kulirik arlojiku, wah udah hampir jam 12 malam. Lalu kukatakan kepadanya, “Besok aja deh, sekarang udah malem, nggak enak, ntar kalau Ayah bangun, gimana..?” Dalam hati, aku sendiri pun sebenarnya ingin juga sih. Tetapi seperti bisa membaca pikiranku, Esther langsung menukas, “Allaa.. nggak apa-apa kok, makanya jangan berisik..!” Mendengar omongannya barusan, aku langsung membantah, “Yee.. orang Kamu dibilangin jangankeras-keras malah Kamu yang menjerit, kan Aku yang minta jangan keras-keras.” Esther tersenyum geli, “Iyaa.. habis mulut Mas ini lho yang nggak kuat Aku menolaknya. Ayo dong..! Mau ya..? Soalnya Aku nggak mau punya hutang nih..!” Esther mencoba merayu. Aku pura-pura tidak mengerti, “Punya hutang apaan sih..?” tanyaku pura-pura bego. “Norak..! Kampungan..! Ndeso..! Sini..!” sungutnya sambil pura-pura cemberut. Tetapi habis ngomong begitu, tanpa kuduga tangan Esther mengarah ke arah kemaluanku, dengan terampilnya sudah membuka resletting celanaku. Dan tanpa kesulitan, batang kemaluanku pun sudah dalam genggamannya. Bersambung ke bagian 02
Back to posts
Comments:

UNDER MAINTENANCE